Beberapa tahun belakangan ini, lebih tepatnya sejak pilkada DKI Jakarta tahun 2012, entah karena permainan para peternak politik, sentimen SARA atau hanya sekedar ikut-ikutan, media sosial kita seperti Facebook dipenuhi oleh narasi-narasi yang didalamnya secara halus diselipi ujaran-ujaran kebencian atau setidaknya membangun untuk anti atau benci terhadap sesuatu.
Bertambah tahun, narasi-narasi itu semakin frontal dan vulgar berseliweran di Sosmed kita, tidak hanya di Facebook tapi juga menyebar ke ruang chatting pribadi seperti Wahtsapp, orang-orang (yang kita kenal) dengan mudahnya mem-forward pesan-pesan berisi narasi "kebenaran" versi mereka sendiri, dan menganggapnya sebagai kebenaran tunggal, tidak sedikit pula narasi-narasi kebencian dan ke-antian di-forward dan disebarkan, tanpa peduli sebenarnya penerima pesan tersebut setuju atau tidak dengan isi pesan yang disampaikan.
Entah karena perbedaan pandangan politik, beda ormas keagamaan, beda mahzab dst...
Setiap orang jadi jago atau setidaknya sok jago dalam bidang tertentu, ada yang tiba-tiba jadi ahli politik, ahli agama, ahli kesehatan, pendidikan dst.
Bertambah tahun, narasi-narasi itu semakin frontal dan vulgar berseliweran di Sosmed kita, tidak hanya di Facebook tapi juga menyebar ke ruang chatting pribadi seperti Wahtsapp, orang-orang (yang kita kenal) dengan mudahnya mem-forward pesan-pesan berisi narasi "kebenaran" versi mereka sendiri, dan menganggapnya sebagai kebenaran tunggal, tidak sedikit pula narasi-narasi kebencian dan ke-antian di-forward dan disebarkan, tanpa peduli sebenarnya penerima pesan tersebut setuju atau tidak dengan isi pesan yang disampaikan.
Entah karena perbedaan pandangan politik, beda ormas keagamaan, beda mahzab dst...
Setiap orang jadi jago atau setidaknya sok jago dalam bidang tertentu, ada yang tiba-tiba jadi ahli politik, ahli agama, ahli kesehatan, pendidikan dst.
Bahkan orang-orang yang otoritatif dibidang keagamaan khususnya, banyak di bully dan di remehkan pendapatnya oleh anak-anak muda hijrah (lebih pas dibilang taubat).
Tokoh-tokoh yang keilmuannya sudah diakui oleh ulama-ulama dari berbagai negara islam seperti Prof. Quraish Shihab, Gus Mus, Alm. Prof ali Mustofa Yakub, Prof. Aqil Siroj, Mbah. Maemun Zubair dst, tidak didengar suaranya dan kalah pepuler oleh ustad-ustad dadakan yang men-tasrif kata Kafir saja keliru, anak-anak muda terutama yang tidak punya guru ngaji, dan gak pernah ngaji di kiyai kampung di lingkungan rumahnya, lebih tertarik dengan dakwah-dakwah ustad Sosmed, akhirnya ilmunya dapat (walau sanadnya tidak jelas dan pemahamannya kurang komperhensif) tetapi akhlak nya hilang, hal ini terbukti dengan banyaknya tuduhan Syiah, Liberal, sesat, anus, kepada tokoh-tokoh diatas tadi.
Lalu kenapa kita, khususnya generasi muda jadi mudah membenci?
Seorang guru yang saya tanyai pendapatnya tentang hal ini, Salah satu penyebabnya adalah karena gaya hidup hedonisme, segala sesuatunya diukur dari materi, sejak kecil di sekolah kita takut kalau nilai kita tidak mencapai nilai standar kelulusan, akibatnya dilakukanlah remidial-remidial untuk "memperbaiki" nilai - nilai tersebut.
Tanpa sadar kita menilai segala sesuatunya dengan standar angka-angka, berbeda dengan di pondok, walaupun nilai angka itu penting tetapi penekanannya lebih kepada akhlak, dan siswa tidak merasa takut.....
Terlebih lagi manusia sebenarnya memang memiliki insting untuk membenci di dalam dirinya, begitulah kurang lebih penjelasan Imam Ghozali dalam muqodimah kitab mantiq nya.
Ketika insting, gaya hidup hedonisme, upaya-upaya menunjukan jati diri (baik agama, pandangan politik, sosial dst) tersebut dipantik oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, mulai dari para politikus yang tidak siap jadi negarawan (menurut Buya Syafi'i Ma'arif), kemudian kelompok transnasional, radikal dan sempolan-sempolannya, maka munculah keramain, euphoria untuk menunjukan ke dunia luar tentang kebenaran yang diyakini, walaupun kadang dan sering kali keyakinan-keyakinan dan pendapat-pendapat yang di share itu dibalut dengan hoax, praduga-praduga dan ujaran kebencian....
Terlebih lagi manusia sebenarnya memang memiliki insting untuk membenci di dalam dirinya, begitulah kurang lebih penjelasan Imam Ghozali dalam muqodimah kitab mantiq nya.
Komentar
Posting Komentar